Analisa Keterlibatan Umat Khatolik dalam hidup Berpolitik

 

Analisa keterlibatan umat katolik dalam hidup berpolitik, berilah data dan fakta atas rupa-rupa keterlibatan itu? Bagaimana penilaian anda?

 

Jawab :

 

Analisa keterlibatan umat katolik dalam hidup berpolitik

 

Politik menjadi salah satu yang sering kali diserukan Gereja. Dalam urusan politik, Gereja tidak hanya berbicara tentang keterlibatan umatnya dalam politik, tetapi juga melihat keterkaitannya dengan nilai-nilai iman kristiani.

Politik juga merupakan salah satu lahan untuk mewartakan kabar gembira.

Melihat pentingnya peran setiap individu dan kelembagaan yang ada, amat penting untuk menegaskan tujuan hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah negara Indonesia. Pancasila sebagai dasar Negara dalam masyarakat yang plural di Indonesia (barangkali) amat penting untuk diteguhkan kembali. Demikian juga negara kesatuan NKRI penting untuk dihayati eksistensinya.

Pengalaman menampilkan bahwa hingga kini masih ada perilaku politik umat Katolik yang bertentangan dengan rambu-rambu moral, etika dan sopan-santun yang diinspirasi oleh nilai-nilai Injili.

“Gereja Katolik tidak dibenarkan untuk memihak kelompok tertentu. Tugas Gereja Katolik adalah mengayomi secara adil dan menyeluruh. Selain itu, pesan ini juga mengingatkan umat Katolik yang terlibat dalam dunia politik agar bisa membedakan mana urusan Gereja dan mana urusan negara.

bahwa dua sisi tersebut tidak boleh dileburkan, tetapi tetap hadir sebagai sisi yang saling melengkapi, saling menguatkan dan saling membangun. Walau harus diakui jika kita mencermati realitas bangsa sekarang ini, Pemilu akan tidak bermanfaat apabila masih ada hal-hal yang terjadi di masyarakat seperti adanya intoleransi, hoax, radikalisme, politik identitas, dan lain-lain.

Bentuk keterlibatan umat katolik dalam dunia politik lebih leluasa dibandingkan dengan hirarki, karena justru panggilan khas mereka adalah terlibat dalam tata dunia. Secara kongkrit keterlibatan umat katolik dalam politik adalah keterlibatan dalam bermasyarakat. umat katolik menyatu dengan masyarakat umum sebagai makhluk sosial yang peduli dengan sesama dan lingkungannya serta lebih jauh berani mengambil bagian dalam setiap kesempatan sosial dan politik yang terbuka bagi mereka. Misalnya terlibat dalam organisasi  RT atau RW, organisasi kemasyarakatan, terlibat dalam partai politik dan lain-lainnya

Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem, no. 14 menyatakan: “Terdorong oleh cinta akan bangsanya dan oleh rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara, orang Katolik harus merasa dirinya bertanggungjawab untuk memajukan kesejahteraan bersama dalam arti kata yang sebenarnya. Mereka berusaha memperbesar pengaruh mereka, supaya perundang-undangan sejalan dengan hukum-hukum kesusilaan dan dengan kesejahteraan bersama…Hendaknya orang-orang Katolik, yang mahir dalam bidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum”.

Dalam pernyataan ini tampak dengan jelas pandangan Gereja Katolik tentang politik. Keterlibatan dalam bidang politik berpangkal dari cinta akan bangsa dan rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara. Dalam arti ini, keterlibatan dalam dunia politik adalah wujud tanggung jawab dari setiap warga negara untuk memajukan kesejahteraan bersama dan mencapai cita-cita bersama, yakni masyarakat yang adil dan makmur. Untuk itu, diperlukan keterlibatan secara aktif dan menggunakan segala kemampuan atau pengaruh yang dimiliki untuk memastikan bahwa setiap undang-undang yang dibuat sejalan dengan hukum-hukum kesusilaan dan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Tanpa partisipasi aktif dari seluruh warga, khususnya mereka yang berkecimpung dalam dunia politik ada bahaya bahwa undang-undang yang dibuat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti keadilan, perlakuan dan perlindungan terhadap semua golongan, penghormatan terhadap martabat dan hidup manusia serta jaminan terhadap mereka yang lemah.

Dari pandangan ini menjadi jelas bahwa orang Katolik, baik kaum awam maupun para imam, biarawan/wati bukan hanya boleh ikut terlibat dalam dunia politik, tetapi merupakan suatu keharusan. Tentu saja “porsi” keterlibatannya berbeda antara Imam/Biarwan/ti dibandingkan dengan awam sesuai dengan mandat dan tugas masing-masing. Konsep Gereja sebagai umat Allah membuka pintu sangat lebar bagi keterlibatan umat dalam politik. Hal ini dipertegas oleh sejumlah Dokumen Konsili Vat II.

Apostolicam Actuositatem, no. 2, secara khusus menekankan ciri keduniaan dari kehidupan kaum awam beriman kristiani. Dengan ciri khas status hidup awam di tengah masyarakat dan urusan-urusan duniawi, mereka dipanggil Allah untuk dijiwai semangat kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan mereka di dunia. Dari dekrit yang sama, no. 9 ditegaskan mengenai pentingnya kerasulan kaum awam, baik internal Gereja maupun dalam masyarakat: “Kaum awam menunaikan kerasulan mereka yang bermacam-ragam dalam Gereja maupun masyarakat. Dalam kedua tatanan hidup itu terbukalah pelbagai bidang kegiatan merasul.” Demikian juga dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam dunia dewasa ini, Gaudium et Spes, no. 52, ditegaskan tentang tanggungjawab semua umat beriman dalam urusan kesejahteraan umum, keamanan, politik, ekonomi, kebudayaan dan hidup berkeluarga, baik dalam menanggung beban keluarga, maupun dalam mendidik anak menuju kepada kesempurnaan.

Lebih jauh Johanes Paulus II, dalam Ensiklik Christi Fideles Laici menyebut bahwa dunia kerasulan kaum beriman kristiani adalah bidang sosial ekonomi, politik, kebudayaan dan pendidikan. Hal ini menemukan pendasaran biblisnya dalam Kis. 2:1-40 yang memberikan inspirasi kepada umat Katolik untuk bergerak keluar dari persembunyian dan berani mewartakan kabar baik kepada semua bangsa. Bagi kita, umat Katolik pada umumnya, usaha kita terlibat dalam politik praktis bukanlah sebagai sarana atau kendaraan untuk melebarkan sayap Gereja. Ekspansionisme dan Proselitisme (mencari kawan sebanyak-banyaknya) sudah bukan waktunya. Tugas utama kita adalah ikut menyumbangkan jasa agar Indonesia semakin menjadi negara dan masyarakat yang lebih baik.

Namun di pihak lain Gereja tetap melarang keterlibatan para uskup, imam, serta rohaniwan dan rohaniwati dalam arena politik praktis. Hukum Kanonik, kan. 287, misalnya mengatakan bahwa para klerus tidak diperbolehkan terlibat dalam dan memimpin partai politik tertentu. Konferensi Wali Gereja Indonesia (2008) membuat pernyataan bahwa demi menjaga objektivitas dan netralitas pelayanan gerejawi, maka pimpinan Gereja tidak dapat merangkap sebagai pengurus partai politik. Mengapa larangan seperti ini dibuat dan terus dipertahankan?

Larangan ini dibuat atas pertimbangan bahwa para Uskup, Imam dan bahkan kaum religious merupakan simbol dan kekuatan yang mempersatukan komunitas umat beriman. Karena itu, apabila terlibat dalam politik praktis dan pada suatu ketika harus berseberangan dengan umat beriman katolik lainnya karena tuntutan politik partisan, maka hal ini akan memperlemah otoritas pengajaran serta posisi mereka sebagai penyatu, pelindung dan pembimbing umat beriman. Kalau demikian, maka pertanyaannya ialah apakah para hirarkis harus tutup mulut terhadap kegelisahan, penderitaan, kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terjadi ditengah masyarakat sebagai akibat dari struktur politik dan ekonomi yang tidak adil?

Ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja di dunia dewasa ini (GS), menyiratkan penegasan yang mengajak seluruh umat beriman untuk mulai bertindak. Adalah saatnya tiba untuk bertindak dan beraksi, bukan berbicara dan berwacana saja. Tindakan dan aksi itu, secara khusus menyasar pada dunia politik dengan komitmen untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Hal itu ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam sambutannya pada tgl 1 Januari 1985: “Sudah saatnya kita mengubah kata-kata menjadi tindakan. Tiap individu, masyarakat dan keluarga, penganut agama, organisasi-organisasi nasional dan internasional, hendaknya mengakui bahwa mereka terpanggil untuk memperbaharui komitmen mereka: bekerja bagi perdamaian”. Dalam hal itu Paus sudah menyuarakan bahwa Gereja harus membawa perdamaian, atau Gereja mengajak semua orang untuk merubah dunia agar lebih damai. Inilah seruan politik dari pemimpin Gereja Katolik bagi dunia.

Gereja Katolik memandang politik sebagai salah satu bidang pelayanan demi perwujudan kasih Allah. Bentuk pelayanan ini mengambil wujudnya paling kongkrit dalam upaya setiap umat beriman memajukan kesejahteraan umum. Kitab Suci mengatakan, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (bdk. Yeremia 29:7). Politik merupakan hak, tanggungjawab dan panggilan semua anggota Gereja. Oleh karena itu, kehidupan politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Sebagai warganegara yang baik, umat Katolik memiliki kewajiban ikut terlibat dalam memperjuangkan kebaikan umum (bonum commune) yang merupakan tujuan politik (bdk. Kan. 747, § 2). Sebagai insan politik yang mengimani Kristus sudah sepantasnya nilai-nilai Injili  mewarnai cara berpolitik umat Katolik (bdk. Kan. 747, § 1). Nilai-nilai itu adalah: inklusif (nondiskriminatif), preferential option for the poor, HAM, solidaritas, subsidiaritas dan bonum publicum/bonum commune. Nilai – nilai tersebut merupakan dasar visi politik umat Katolik yaitu membangun suatu tatanan politik yang adil, beradab dan mengabdi pada kepentingan umum, terutama kelompok masyarakat yang dirugikan.

Alasan mendasar yang membuat umat Katolik terus terlibat aktif dalam urusan politik terletak pada panggilan Ilahi untuk mempertegas moral politik yang benar yaitu politik demi keadilan, perdamaian, kesejahteraan dan kebaikan bersama serta penghormatan terhadap hak-hak asasi dan martabat manusia. Moral politik ini bertentangan dengan mentalitas individualistik dan etika individualisme. Etika ini mengagung-agungkan kebebasan dan pilihan hidup berdasarkan kepentingan individu semata-mata, tetapi mengabaikan kepentingan dan kebaikan kolektif. Sambil menolak etika individualisme ini, Gereja mengajak semua umat beriman supaya bersikap kritis terhadap setiap idiologi dan etika serta berani menolak idiologi dan etika kehidupan yang berpotensi menghancurkan prinsip kebaikan, kesejahteraan, keadilan, kesatuan dan keselamatan kolektif  yang menjadi tujuan politik yang sesungguhnya.


Kerasulan awam, yang menukik secara sempit kepada kerasulan dalam dunia politik adalah sakramen, yakni jalan menuju kepada keselamatan. Bidang politik sebagai salah satu bentuk kerasulan awam, dalam arti luas, adalah wujud konkret dari keberpihakan kita demi kesejahteraan bersama dengan keterlibatan sepenuh hati dalam usaha mewujudkan kepentingan umum yang adil, damai dan sejahtera. Gereja Katolik melihat politik sebagai sesuatu yang pada hakekatnya baik, sebagai “seni” untuk mengatur kehidupan bersama dan megusahakan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, Gereja sebagai entitas yang berjuang bagi terwujudnya keselamatan dan syaloom, tidak bisa bersikap indifferent dalam dunia politik. Gereja, melalui kaum awam harus terlibat secara aktif dalam dunia politik agar kesejahteraan umum yang diperjuangkan itu secara perlahan tetapi pasti dapat terwujud.

Berhadapan dengan kenyataan politik yang tidak sesuai dengan hakekatnya, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk kembali kepada visi dan misi politik yang sebenarnya, yakni sebagai medium bagi perjuangan kesejahteraan umum dengan berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kejujuran, hormat terhadap martabat pribadi manusia, solidaritas dan subsidiaritas. Untuk itu, Gereja Katolik memperjuangkan pembaharuan politik dengan menekankan perubahan dari politik yang bersifat pencitraan dan politik uang  menjadi politik kompetensi dan pengabdian; dari politik sektarian dan primordialis menjadi politik yang terbuka dan pluralistik; dari politik yang bersifat “top down” menjadi politik yang berpola “bottom up”; dari politik struktural authoritatif menjadi politik konstitusional fungsional dan demokratis; dan dari politik kroni menjadi politik yang terbuka bagi persaingan publik.

Untuk ikut menentukan jalannya politik, Gereja, dalam hal ini kaum awam harus secara aktif terlibat dan ikut mewarnai dunia politik. Hanya dengan terlibat secara aktif, Gereja ikut berperan mengubah dunia politik kearah yang lebih baik. Keterlibatan secara aktif dalam dunia politik melalui perebutan jabatan publik (legislatif dan eksekutif) memerlukan suatu strategi yang jitu. Konsolidasi komitmen adalah salah satu strategi yang telah terbukti ampuh dan dapat diterapkan di tempat lain dalam upaya meraih jabatan publik.

Untuk mewujudkan perubahan tersebut di atas, setiap anggota Gereja perlu berperan aktif sebagai “garam dan terang dunia”, sesuai tugas tanggungjawab, situasi dan kemampuannya masing-masing, serta sesuai aturan yang berlaku. Dalam hal ini semua anggota Gereja: kaum klerus, biarawan-biarawati dan kaum awam dapat dan perlu memainkan peranannya sesuai hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat/negara dan serentak warga Gereja. Secara khusus, kaum klerus serta biarawan dan biarawati dapat berperan secara formatif dan tidak langsung, yakni sebagai pembina, pengawal dan pengontrol dunia politik; sedangkan kaum awam berperan secara praktis dan langsung, sebagai politisi, pemimpin eksekutif dan birokrat.

Bila hal itu tidak dilakukan, maka nasib dan masa depan kita akan ditentukan oleh orang lain seperti yang dikatakan oleh Mgr. Soegijapranata kepada politikus Katolik Indonesia I.J. Kasimo:  ”Jangan biarkan orang lain mengambil keputusan mengenai nasibmu, tanpa kamu terlibat di dalamnya.” Ini merupakan ajakan kepada setiap orang beriman untuk peka akan kecemasan dan harapan, penderitaan dan kegembiraan bangsa ini. Ini merupakan ajakan bagi segenap insan Katolik untuk teribat secara aktif dalam dunia politik, ikut menentukan masa depan diri dan bangsa. Menjadi orang Katolik Indonesia berarti 100 % Katolik dan 100% Indonesia (Rm I Ketut Adi Hardana, MSF)I

 

Penilaian

 

Berbicara mengenai relasi agama dan politik, kedua entitas tersebut memiliki proses tarik menarik kepentingan. Agama memiliki peran strategis dalam mengkonstruksi dan memberikan kerangka nilai serta norma dalam membangun struktur negara dan pendisiplinan masyarakat. Negara menggunakan agama sebagai legitimasi dogmatik untuk mengikat warga negara agar mematuhi aturan-aturan yang ada. Adanya hubungan timbal balik itulah yang kemudian menimbulkan hubungan saling mendominasi antar kedua entitas tersebut. Negara yang didominasi unsur kekuatan agama yang terlalu kuat hanya akan melahirkan negara teokrasi yang cenderung melahirkan adanya hipokrisi moral maupun etika yang ditunjukkan para pemuka agama. Kondisi tersebut terjadi karena adanya pencampuradukan unsur teologis dan materialis secara konservatif. Adapun negara yang mendominasi relasi agama justru menciptakan negara sekuler yakni persoalan agama kemudian termarjinalkan dan tereduksikan dalam pengaruh kehidupan berbangsa dan bernegara, keduanya harus seimbang. Isu tentang relasi agama dan politik merupakan isu tua dalam sejarah manusia modern, keduanya pun senantiasa memantik polemik ihwal posisi agama dalam arena politik yang setidaknya, melibatkan dua kelompok yang secara diametris berlawanan. Satu pihak mengampanyekan agar agama dilibatkan dalam setiap pertimbangan politik. Gagasan ini dikenal sebagai teokrasi, pemerintahan berbasis agama. Konsekuensinya, agama menjadi payung tertinggi dalam setiap kebijakan politik. Disisi lain, ada pihak yang justru menolak campur tangan agama dalam urusan politik. Agama harus ditepikan dari diskursus publik dan dimengerti sebagai perkara privat yang hanya menyangkut kepentingan individu per individu. Agama tidak lebih dari urusan ritual yang menggambarkan dependensi manusia dengan tuhannya. Didalam perpolitikan Indonesia, isu ini turut mewarnai perjalanan sejarah bangsa. Sejak awal pembentukannya, hingga saat ini. Dulu ketika pembuatan piagam jakarta, poin pertama yang semula berisi “ketuhanan dengan menjalankan syariat-syariat islam bagi para pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Perubahan ini terjadi setelah para tokoh berdiskusi dan sebagai upaya agar tidak terjadi perpecahan diantara warga negara lainnya. Kemudian kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau ahok selaku mantan gubernur DKI Jakarta, dalam sebuah pernyataannya, dia menngatakan bahwa “jangan sampai kaum muslimin terpengaruh oleh isi Surat Al-Maidah Ayat 51 yang menerangkan tentang haramnya orang muslim memilih pemimpin nonmuslim”. Hal ini yang kemudian menjadi polemik panjang dan dijadikan senjata bagi lawan-lawan politik Ahok untuk menjatuhkannya. Ahok dianggap telah melakukan penistaan agama, telah menghina teks agama yang suci dan lain sebagainya. Pro dan kontra terus bergulir mulai dari tokoh agama hingga akademisi saling berbalas dan membela kepentingannya.

Dari kasus ini saja kita bisa melihat, bahwa agama selalu menjadi komoditas politik. Antara agama dan politik mempunyai kepentingan masing-masing. Politik membutuhkan agama sebagai alat legitimasinya, dan agama membutuhkan politik sebagai alat penyebarannya sehingga hubungan agama dan politik adalah simbiotik. Seperti manuver politik yang dilakukan oleh Joko Widodo ketika pemilu 2019, sebuah hal yang bisa dibilang sangat menarik, mengingat saat itu Jokowi selaku capres belum menentukan pasangan yang akan mendampinginya dalam kontestasi politik terbesar di Indonesia. Ketika Jokowi mengumumkan pasangan yang akan mendampinginya dalam pemilu 2019, masyarakat sontak terkejut. Nama Ma’ruf Amin terpampang jelas, tentu saja ini merupakan manuver yang tidak diduga sebelumnya, Ma’ruf amin yang merupakan tokoh ulama terkenal menjadi pasangan dari Joko Widodo. Berkat manuvernya tersebut, pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin berhasil memenangkan pemilu 2019. Jokowi-Ma’ruf memperoleh banyak suara,khususnya dari kelompok muslim yang tertarik karena salah satu paslon tersebut merupakan tokoh ulama terkenal, sehingga masyarakat umum banyak yang tertarik. Dari contoh-contoh tersebut kita bisa mengetahui, agama dan politik tidak akan pernah bisa dipisahkan. Keduanya akan selalu berjalan beriringan dan akan selalu berdampingan.

No comments:

Diskusi 3 - Evaluasi Pembelajaran Di SD - PDGK4301

hay teman - teman mahasiswa... Dibawah ini saya membagikan jawaban dari pertanyaan diskusi pada pertemuan ke tiga Mata Kuliah Evaluasi  Pemb...